“Kulihat ibu pertiwi
sedang bersusah hati, air matanya berlinang mas intanya terkenang. Hutan gunung
sawah lautan, simpanan kekayaan. Kini ibu sedang susah, merintih dan berdoa”
Najwa tersengal-sengal.
Nafasnya meramaikan suasana senja di perkampungan Ciliwung yang sempit. Ia tak
bisa mengimbangi kelihaian Yoga berlari yang melesat bagai laju busur anak
panah. Areal perkampungan itu sangat sempit, diapit rumah-rumah kecil berukuran
24 x 15 m2 yang saling berdempetan tanpa ada celah di antaranya. Kubangan-kubangan
yang membentuk kawah menghiasi jalanan perkampungan itu membuat sepasang
sepatunya penuh goresan lumpur. Hujan baru saja berhenti.
Sauna alam sore telah
membakar lemaknya dan berhasil menghasilkan cucuran keringat di peluhnya. Alunan
suara mesin pabrik membentuk simfoni sore. Yoga berlari semakin jauh. Langkahnya
memecah kubangan-kubangan kecil yang ada dihadapanya. Sudah beberapa bulan ini
ia kehilangan rasa lelah.
Hentakan kaki gadis itu
tiba-tiba berhenti. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup tanpa ritme yang
jelas. Ia bertopang pada tangan kananya yang disandarkan pada sebuah bilik kayu
tak berpenghuni. Tangan kirinya masih memanggul tas yang berisikan laptop dan
obat P3K. Bayang-bayang Yoga semakin samar. Sebetulnya ia cukup tahu jalan tapi
ia tak pernah berlari secepat ini sebelumnya. Ia hanya berharap ketika Yoga
meninggalkanya ia tidak tersesat pada rumah korban yang akan dituju.
Najwa melirik jam
tanganya, pukul lima sore. Siluet cahaya merah di langit senja pasca hujan
menyisakan lukisan indah Sang Maha Pencipta. Suatu keindahan agung yang mungkin
tak dapat dinikmati semua manusia, bahkan orang kaya sekalipun. Itulah yang
membuat Najwa begitu menghargai akan kesehatan dan masa muda sehingga
menggerakkan hatinya menjadi volunteer sebuah organisasi ekstrakampus
yang bergerak dibidang sosial.
Awal mula pertemuanya
dengan Yoga, anak seorang kuli bangunan berumur sebelas tahun, cukup singkat.
Saat ia berserta rekan se-organisasinya mengadakan sebuah acara amal sederhana
di kawasan Ciliwung, Najwa menangkap sesosok anak kecil berpakaian lusuh tanpa
alas kaki duduk terdiam di atas batu besar. Kemudian ia mendekati anak itu dan
terjadilah percakapan yang akhirnya menjadikan mereka akrab, layaknya kakak dan
adik. Disela-sela kesibukanya sebagai mahasiswi akademi perawatan salah satu
universitas ternama di Jakarta, Najwa kerap membantu warga Ciliwung yang masih
belum mau terbuka dengan pemerintah.
Tiba-tiba sebuah
tepukan lunak mendarat di tangan Najwa, menyadarkanya dari lamunan. Rupanya
Yoga sadar telah meninggalkan gadis itu.
“Maafkan aku, Yoga. Aku
lelah sekali,” ujar Najwa meminta pengertian.
“Baiklah Kak, tak
mengapa,” jawabnya sambil tersenyum. Nafasnya masih tersengal-sengal, lucu. Peluh
di dahi anak itu seketika berubah menjadi lem yang melekatkan barisan rambutnya
di dahi. Ia kembali tersenyum pada Najwa.
Rumah warga yang dituju
tepat di pesisir sungai Ciliwung. Saat Najwa dan Yoga datang, sekitar dua puluh
orang telah memenuhi ruang tamu rumah itu yang sempit. Beberapa suara tangis
ibu-ibu bersautan. Toni, remaja yang terbujur lemas di atas dipan ruang tamu
meringkik lemah. Tubuhnya kurus kering dibalut selendang coklat batik menutupi
luka-luka di kulitnya. Tampak seorang laki-laki bersongkok hitam membacakan doa
dan seorang ibu yang mengompres kepalanya.
“Kak, Toni adalah
korban dari Sungai Ciliwung ini,” bisik Yoga. Najwa mengangguk pertanda
mengerti. Dalam hatinya bergemuruh menyuarakan perasaan marah dan geram atas
peristiwa ini. Ia bahkan tak sampai hati melihat keadaan Toni, salah satu adik
didikanya yang berjuang hidup disisa-sisa nafasnya. Najwa prihatin jika harus
kehilangan tawa canda mereka akibat dosa yang tak pernah mereka buat sebelumnya.
Di sisi lain, kebiasaan
warga yang menggunakan air Sungai Ciliwung cukup membuatnya mengelus dada.
Bagaimana tidak, mereka sepertinya sudah terbiasa melakukan segala aktifitas
kerumahtanggaan mulai mandi, mencuci, memasak air menggunakan air tersebut. Maklum,
harga air bersih di Ciliwung lumayan mahal sekitar Rp 3.000 – Rp 4.000 per
jerigen. Inilah alasan yang membuat warga yang notabene berprofesikan kuli
mengambil pilihan ini.
Bisik-bisik warga
kemudian menjadi ramai. Seseorang dari mereka berkata, “Menurut ketua di
kampung ini, Sang Raja Air murka. Hukuman ini akan terus berlangsung selama
limbah-limbah pabrik itu masih dibuang di sungai dan begitu juga dengan
sampah-sampah manusia yang ada di sungai ini. Toni bukanlah korban pertama dari
wabah ini. Sebelumnya sudah ada 4 pemuda dan 6 orang tua meninggal akibat
penyakit kulit aneh dan keracunan, serta belasan lainya terkena gangguan
pernapasan,”
“Bagaimana dengan
pemerintah dan kecamatan di kawasan ini?”
“Akibat krisis dan
kemalangan yang dialami bangsa ini, kini warga kehilangan kepercayaan mereka
pada pemerintah. Mereka tak berani memanggil dokter atau membawa korban ke
puskesmas karena takut jika ditagih biayanya,” sahut warga lain yang tiba-tiba
menyembul dari kerumunan.
Najwa tertegun. Begitu
kompleks persoalan bangsa ini. Mulai dari atasan yang mengemis kepercayaan
hingga warga yang sudah kehilangan kepercayaanya. Najwa teringat sebuah slogan
yang pernah ia baca tertempel di salah satu rumah sakit yang berbunyi, “Orang
miskin dilarang sakit.” Bagaimana mereka tidak sakit jika para penguasa,
pemilik perusahaan-perusahaan tidak mengolah limbah-limbah mereka menjadi
sesuatu yang lebih berguna, malah sebaliknya mencemarkan lingkungan? Apa
gunanya CSR jika perkara-perkara lingkungan seperti ini masih tetap ada dan
belum teratasi?
Toni hanyalah salah
satu dari sekian korban yang terjebak dalam hal yang mematikan dan belum
terekspos ke media. Hingga bulan Maret 2014, sebanyak 80% sungai di Indonesia telah
tercemar logam berat akibat limbah pabrik dan limbah manusia yang dibuang
sekenanya. Akibatnya, sungai-sungai tersebut mengandung arsen, mangan,
aluminium dan kadar merkuri yang sangat tinggi. Logam berat inilah yang
membunuh mereka.
Dari jauh, Toni memberi
isyarat pada Najwa untuk mendekat. Matanya menatap dalam-dalam pada
Najwa.“A-aku tak ingin mati,” bisiknya terbata-bata. Bongkahan air mata pecah
dari kelopak keduanya.
“Bertahanlah Toni, aku
akan segera mencari pertolongan. Bertahanlah!” ujar Najwa meyakinkan sambil
mengusap air mata Toni. Kemudian ia keluar diikuti Yoga.
Najwa memandang langit
lekat-lekat. Dihirupnya udara yang bercampur karbondioksida yang menyembul dari
corong-corong raksasa pabrik. Pikiranya menerawang. Seseorang harus memperjuangkan
ini, batinya. Seperti sudah mampu menebak apa yang dipikirkan Najwa, Yoga
angkat bicara.
“Apa kakak yakin
memperjuangkan hal ini?”
Najwa menoleh, mendesah
panjang. “Ya, aku yakin. Tanpa ragu lagi, setelah ini aku akan menulis artikel
tentang ini. Aku bersama kawan-kawan organisasi akan membuat gerakan semacam save
our earth atau save our environment. Kau tahu, di beberapa daerah
gerakan semacam ini cukup efektif mendobrak pemerintah dalam hal pemeliharaan
kesehatan dan lingkungan khususnya di kawasan Ciliwung tempat kita berpijak
saat ini. Selain itu, dengan adanya gerakan ini kita melibatkan diri kita,
warga masyarakat bahkan pemerintah dan kalangan eksekutif bisnis lainya untuk
berempati pada lingkungan dengan tidak membuang sampah apapun bentuknya ke
sungai,”
Yoga mengangguk pelan. Tapi
dari sorot matanya timbul harapan besar pada Najwa. Najwa kini bukan orang
asing lagi baginya. Setelah Emak dan Bapaknya meninggal tiga bulan yang lalu,
ia tidak memiliki keluarga lagi di tanah Ciliwung ini. Semua sanak saudara
telah pergi merantau sejak Yoga masih berumur lima tahun. Keberadaan Najwa
seperti obat penghibur laranya. Ia diajari membaca, menulis dan mengaji. Cita-citanya
sederhana, menjadi pegawai Dinas Lingkungan agar mempunyai kekuasaan menjaga
dan membersihkan oknum-oknum yang membuang limbah di Sungai Ciliwung.
“Are you ready to
action?” Najwa mengulurkan tanganya yang terbuka pada Yoga. Dengan girang
dan bersemangat, Yoga, si pemuda Ciliwung yang bermimpi menjadi pegawai Dinas
Lingkungan menyambut uluran tangan Najwa, lalu menggenggamnya sambil memekik,
“Yes!”
Di bawah
bayang-bayang sisa sinar senja, keduanya berlari menembus zona waktu tak
terbatas. Pancaran harapan dan semangat menerangi derap langkah mereka. Suara
gelak tawa bercampur nyanyian kodok menggema, mengiringi di antara deretan
rumah tua yang hampir menyentuh tanah. Kini tiba saatnya, siapa pun kita
sadar untuk bertanggungjawab pada lingkungan yang memberi kita kehidupan. Let’s
save our environment.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar