Kamis, 12 Juni 2014

CERPEN_Jeritan Ciliwung



“Kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati, air matanya berlinang mas intanya terkenang. Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan. Kini ibu sedang susah, merintih dan berdoa”

Najwa tersengal-sengal. Nafasnya meramaikan suasana senja di perkampungan Ciliwung yang sempit. Ia tak bisa mengimbangi kelihaian Yoga berlari yang melesat bagai laju busur anak panah. Areal perkampungan itu sangat sempit, diapit rumah-rumah kecil berukuran 24 x 15 m2 yang saling berdempetan tanpa ada celah di antaranya. Kubangan-kubangan yang membentuk kawah menghiasi jalanan perkampungan itu membuat sepasang sepatunya penuh goresan lumpur. Hujan baru saja berhenti.
Sauna alam sore telah membakar lemaknya dan berhasil menghasilkan cucuran keringat di peluhnya. Alunan suara mesin pabrik membentuk simfoni sore. Yoga berlari semakin jauh. Langkahnya memecah kubangan-kubangan kecil yang ada dihadapanya. Sudah beberapa bulan ini ia kehilangan rasa lelah.
Hentakan kaki gadis itu tiba-tiba berhenti. Nafasnya memburu, jantungnya berdegup tanpa ritme yang jelas. Ia bertopang pada tangan kananya yang disandarkan pada sebuah bilik kayu tak berpenghuni. Tangan kirinya masih memanggul tas yang berisikan laptop dan obat P3K. Bayang-bayang Yoga semakin samar. Sebetulnya ia cukup tahu jalan tapi ia tak pernah berlari secepat ini sebelumnya. Ia hanya berharap ketika Yoga meninggalkanya ia tidak tersesat pada rumah korban yang akan dituju.
Najwa melirik jam tanganya, pukul lima sore. Siluet cahaya merah di langit senja pasca hujan menyisakan lukisan indah Sang Maha Pencipta. Suatu keindahan agung yang mungkin tak dapat dinikmati semua manusia, bahkan orang kaya sekalipun. Itulah yang membuat Najwa begitu menghargai akan kesehatan dan masa muda sehingga menggerakkan hatinya menjadi volunteer sebuah organisasi ekstrakampus yang bergerak dibidang sosial.
Awal mula pertemuanya dengan Yoga, anak seorang kuli bangunan berumur sebelas tahun, cukup singkat. Saat ia berserta rekan se-organisasinya mengadakan sebuah acara amal sederhana di kawasan Ciliwung, Najwa menangkap sesosok anak kecil berpakaian lusuh tanpa alas kaki duduk terdiam di atas batu besar. Kemudian ia mendekati anak itu dan terjadilah percakapan yang akhirnya menjadikan mereka akrab, layaknya kakak dan adik. Disela-sela kesibukanya sebagai mahasiswi akademi perawatan salah satu universitas ternama di Jakarta, Najwa kerap membantu warga Ciliwung yang masih belum mau terbuka dengan pemerintah.
Tiba-tiba sebuah tepukan lunak mendarat di tangan Najwa, menyadarkanya dari lamunan. Rupanya Yoga sadar telah meninggalkan gadis itu.
“Maafkan aku, Yoga. Aku lelah sekali,” ujar Najwa meminta pengertian.
“Baiklah Kak, tak mengapa,” jawabnya sambil tersenyum. Nafasnya masih tersengal-sengal, lucu. Peluh di dahi anak itu seketika berubah menjadi lem yang melekatkan barisan rambutnya di dahi. Ia kembali tersenyum pada Najwa.

Rumah warga yang dituju tepat di pesisir sungai Ciliwung. Saat Najwa dan Yoga datang, sekitar dua puluh orang telah memenuhi ruang tamu rumah itu yang sempit. Beberapa suara tangis ibu-ibu bersautan. Toni, remaja yang terbujur lemas di atas dipan ruang tamu meringkik lemah. Tubuhnya kurus kering dibalut selendang coklat batik menutupi luka-luka di kulitnya. Tampak seorang laki-laki bersongkok hitam membacakan doa dan seorang ibu yang mengompres kepalanya.
“Kak, Toni adalah korban dari Sungai Ciliwung ini,” bisik Yoga. Najwa mengangguk pertanda mengerti. Dalam hatinya bergemuruh menyuarakan perasaan marah dan geram atas peristiwa ini. Ia bahkan tak sampai hati melihat keadaan Toni, salah satu adik didikanya yang berjuang hidup disisa-sisa nafasnya. Najwa prihatin jika harus kehilangan tawa canda mereka akibat dosa yang tak pernah mereka buat sebelumnya.
Di sisi lain, kebiasaan warga yang menggunakan air Sungai Ciliwung cukup membuatnya mengelus dada. Bagaimana tidak, mereka sepertinya sudah terbiasa melakukan segala aktifitas kerumahtanggaan mulai mandi, mencuci, memasak air menggunakan air tersebut. Maklum, harga air bersih di Ciliwung lumayan mahal sekitar Rp 3.000 – Rp 4.000 per jerigen. Inilah alasan yang membuat warga yang notabene berprofesikan kuli mengambil pilihan ini.
Bisik-bisik warga kemudian menjadi ramai. Seseorang dari mereka berkata, “Menurut ketua di kampung ini, Sang Raja Air murka. Hukuman ini akan terus berlangsung selama limbah-limbah pabrik itu masih dibuang di sungai dan begitu juga dengan sampah-sampah manusia yang ada di sungai ini. Toni bukanlah korban pertama dari wabah ini. Sebelumnya sudah ada 4 pemuda dan 6 orang tua meninggal akibat penyakit kulit aneh dan keracunan, serta belasan lainya terkena gangguan pernapasan,”
“Bagaimana dengan pemerintah dan kecamatan di kawasan ini?”
“Akibat krisis dan kemalangan yang dialami bangsa ini, kini warga kehilangan kepercayaan mereka pada pemerintah. Mereka tak berani memanggil dokter atau membawa korban ke puskesmas karena takut jika ditagih biayanya,” sahut warga lain yang tiba-tiba menyembul dari kerumunan.
Najwa tertegun. Begitu kompleks persoalan bangsa ini. Mulai dari atasan yang mengemis kepercayaan hingga warga yang sudah kehilangan kepercayaanya. Najwa teringat sebuah slogan yang pernah ia baca tertempel di salah satu rumah sakit yang berbunyi, “Orang miskin dilarang sakit.” Bagaimana mereka tidak sakit jika para penguasa, pemilik perusahaan-perusahaan tidak mengolah limbah-limbah mereka menjadi sesuatu yang lebih berguna, malah sebaliknya mencemarkan lingkungan? Apa gunanya CSR jika perkara-perkara lingkungan seperti ini masih tetap ada dan belum teratasi?
Toni hanyalah salah satu dari sekian korban yang terjebak dalam hal yang mematikan dan belum terekspos ke media. Hingga bulan Maret 2014, sebanyak 80% sungai di Indonesia telah tercemar logam berat akibat limbah pabrik dan limbah manusia yang dibuang sekenanya. Akibatnya, sungai-sungai tersebut mengandung arsen, mangan, aluminium dan kadar merkuri yang sangat tinggi. Logam berat inilah yang membunuh mereka.
Dari jauh, Toni memberi isyarat pada Najwa untuk mendekat. Matanya menatap dalam-dalam pada Najwa.“A-aku tak ingin mati,” bisiknya terbata-bata. Bongkahan air mata pecah dari kelopak keduanya.
“Bertahanlah Toni, aku akan segera mencari pertolongan. Bertahanlah!” ujar Najwa meyakinkan sambil mengusap air mata Toni. Kemudian ia keluar diikuti Yoga.

Najwa memandang langit lekat-lekat. Dihirupnya udara yang bercampur karbondioksida yang menyembul dari corong-corong raksasa pabrik. Pikiranya menerawang. Seseorang harus memperjuangkan ini, batinya. Seperti sudah mampu menebak apa yang dipikirkan Najwa, Yoga angkat bicara.
“Apa kakak yakin memperjuangkan hal ini?”
Najwa menoleh, mendesah panjang. “Ya, aku yakin. Tanpa ragu lagi, setelah ini aku akan menulis artikel tentang ini. Aku bersama kawan-kawan organisasi akan membuat gerakan semacam save our earth atau save our environment. Kau tahu, di beberapa daerah gerakan semacam ini cukup efektif mendobrak pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan dan lingkungan khususnya di kawasan Ciliwung tempat kita berpijak saat ini. Selain itu, dengan adanya gerakan ini kita melibatkan diri kita, warga masyarakat bahkan pemerintah dan kalangan eksekutif bisnis lainya untuk berempati pada lingkungan dengan tidak membuang sampah apapun bentuknya ke sungai,”
Yoga mengangguk pelan. Tapi dari sorot matanya timbul harapan besar pada Najwa. Najwa kini bukan orang asing lagi baginya. Setelah Emak dan Bapaknya meninggal tiga bulan yang lalu, ia tidak memiliki keluarga lagi di tanah Ciliwung ini. Semua sanak saudara telah pergi merantau sejak Yoga masih berumur lima tahun. Keberadaan Najwa seperti obat penghibur laranya. Ia diajari membaca, menulis dan mengaji. Cita-citanya sederhana, menjadi pegawai Dinas Lingkungan agar mempunyai kekuasaan menjaga dan membersihkan oknum-oknum yang membuang limbah di Sungai Ciliwung.
Are you ready to action?” Najwa mengulurkan tanganya yang terbuka pada Yoga. Dengan girang dan bersemangat, Yoga, si pemuda Ciliwung yang bermimpi menjadi pegawai Dinas Lingkungan menyambut uluran tangan Najwa, lalu menggenggamnya sambil memekik,
“Yes!”
Di bawah bayang-bayang sisa sinar senja, keduanya berlari menembus zona waktu tak terbatas. Pancaran harapan dan semangat menerangi derap langkah mereka. Suara gelak tawa bercampur nyanyian kodok menggema, mengiringi di antara deretan rumah tua yang hampir menyentuh tanah. Kini tiba saatnya, siapa pun kita sadar untuk bertanggungjawab pada lingkungan yang memberi kita kehidupan. Let’s save our environment.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar