(Edisi Cerpen Gaza-Palestina)
“We will not go down, in the night without a fight.
You can burn our mosque, and our homes, and our
schools
But the spirit will never die
We will not go down, in Gaza tonight”
(Michael Heart - We Will Not Go Down)
Abdul sedang asyik
merapikan seragam tenaga medisnya tatkala tiba-tiba bumi tempatnya berpijak
berguncang hebat. Lampu-lampu yang bertengger di atas atap bergetar. Kaca
jendela pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Buku-buku yang berada di atas
rak rumah sakit darurat itu serempak berjatuhan dan ranjang-ranjang bergetar
sambil bergerak tak beraturan. Tak jauh dari tempatnya bertugas, asap tebal
mulai membumbung tinggi menutupi langit kota Gaza yang cerah. Abdul sadar, ia
harus segera keluar dari tempat darurat itu.
Sudah tiga tahun ini
Abdul, seorang pemuda kewarganegaraan Indonesia menjadi relawan sekaligus
jurnalis lapangan di Gaza. Awalnya pada tahun 2010 ia melakukan perjalanan ke
Arab untuk menunaikan ibadah umroh sekaligus mengunjungi tempat bersejarah bagi
umat Islam, salah satunya adalah Masjid Al-Aqsho yang terletak di Yerusalem.
Namun suatu kejadian luar biasa terjadi saat ia harus berhadapan secara
langsung dengan tentara Israel yang melarang Abdul beserta rombonganya
beribadah di Yerusalem. Ia menjadi semakin tahu bagaimana ambisi Israel menghalangi
umat Islam memasuki tanah Yerusalem.
Selama menjadi tenaga
medis di Gaza, Abdul memiliki banyak kisah yang mengharukan dan menggugah
semangat. Ia telah banyak menjumpai para syuhada’ dan mujahidin dari berbagai
kalangan. Mulai dari pemerintah hingga anak-anak. Namun Abdul sangat tertarik
dengan kehidupan anak-anak Gaza yang sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak
di belahan bumi lain. Anak-anak Gaza sangat antusias ikut berjuang mengenyahkan
zionis dari tanah mereka. Mereka tak segan-segan ikut memegang senjata
menghadapi para tentara zionis yang berperawakan besar dan berteknologi
canggih. Di sisi lain, anak-anak Gaza sangat menjunjung tinggi pendidikan.
Mereka tahu makna sebuah buku dan pendidikan. Di tengah himpitan perang dan
keterbatasan, anak-anak Gaza tetap menuntut ilmu.
Salah satunya adalah
Syarif, bocah kecil kelahiran Rafah delapan tahun silam yang sempat menjadi
pasien Abdul dua bulan yang lalu. Syarif
termasuk salah satu korban terluka parah yang akhirnya mengharuskan kakinya
diamputasi. Setelah proses operasi, Syarif dengan satu kaki yang tersisa
berangkat pulang setiap hari ke sekolah dan beberapa kali tetap berusaha
mengikuti setiap peperangan yang dapat ia ikuti. Saat itu Abdul hanya bisa
tertegun dan bangga dengan semangat jihad yang dimiliki Syarif. Mereka kemudian
dekat dan ia pun banyak berbagi soal ilmu umum
yang diketahuinya.
Pernah suatu ketika
terjadi perdebatan di antara mereka soal metode jihad yang sesungguhnya. Tanpa jeda
sedikit pun, Syarif kecil berapi-api menyampaikan visi misi jihadnya. Ia
bercerita bagaimana perjuangan Intifadha dirinya bersama para saudara, sahabat
dan kawan sejawatnya yang dengan berani melontarkan batuan kecil yang sungguh
jauh tiada tandinganya dengan tank-tank milik zionis. Kemudian ia juga
bercerita bagaimana dirinya dan kakaknya ikut baku tembak dengan tentara Israel
yang menggusur para warga yang hendak shalat di masjid Al-Aqsha. Sungguh
mengesankan, Allahu Akbar.
Deburan debu suci
akibat ledakan bom roket beberapa menit yang lalu masih mewarnai suasana Gaza.
Aroma jihad para pejuang Palestina menyebar ke seantero tanah suci itu. Abdul
memandang sedih keadaan sekelilingnya. Bagaimana tidak, setelah bangunan sekolah
depan rumah sakit darurat itu rata dengan tanah akibat ledakan roket Israel
kemarin sore, pemukiman penduduk yang berjarak dua blok dari rumah sakit
darurat kini juga telah rata dengan tanah. Abdul mendesah sambil terus
bertakbir.
Tiba-tiba seorang anak
kecil menarik lengan Abdul, menyadarkanya dari lamunan. “Mampukah kau menjaga
amanah yang kuberikan kepadamu, kak?”
Abdul menoleh, ia
menatap kedua bola mata anak yang dikenalnya sebagai mujahid kecil dengan satu
kaki yang memiliki nama asli Syarif. Abdul tersenyum sambil menjawab “Insya
Allah,”
“Kak, aku ingin
mewasiatkan kotak impianku ini kepadamu. Jika tiba saatnya aku tak berada di
dunia ini lagi, maka bukalah kotak itu. aku percaya sepenuhnya kepada kakak,”
ujarnya sambil menyerahkan kotak yang ukuranya tak lebih besar dari ukuran
kotak jam tangan.
“Kenapa tiba-tiba kau
memberikanya kepadaku? Apa maksud kata-katamu ‘mewasiatkan’ kepadaku?” Abdul
kebingungan sambil membolak-balikkan kotak itu.
“Suatu saat kakak pasti
akan mengetahuinya. Percayalah.” Setelah itu untuk beberapa hari Abdul tak
bertemu dengan Syarif si mujahid kecil satu kaki.
Dua hari kemudian,
langit kota Gaza – Palestina kembali riuh oleh serangan tentara zionis dari
udara, darat dan laut. Ratusan roket diluncurkan dan ribuan peluru ditembakkan.
Dalam sekejap puluhan pejuang Palestina gugur dan ratusan lainya luka-luka.
Peperangan yang berjalan tak seimbang itu terus berlangsung hingga malamnya.
Selepas shalat Isya’ terdengarlah suara ledakan besar yang memekakkan telinga,
menggetarkan bumi dan menyayat hati. Tiada yang tahu jiwa siapa yang rela
mengorbankan dirinya dengan sebuah ledakan besar yang mampu membangunkan seisi
bumi yang terlelap oleh kefanaan dunia.
Di saat yang sama
akibat getaran dahsyat ledakan bom itu, kotak impian Syarif terjatuh dari atas
meja dalam keadaan pecah dan terbuka. Mengeluarkan semua kenangan, harapan dan
impian yang dimiliki. Tampak dua butir peluru yang menganga lebar dan sebuah
kertas bergambarkan bendera Palestina dengan lafadz La ilaha Illallah di
atasnya. Untuk kesekian kalinya, Abdul tertegun dan menangis.
“Wahai syuhada’
rahimakumullah, semoga Allah menerima semua amal ibadah dan memasukkan kalian
kedalam golongan sahabat yang dicintai Allah. Aamiin.”Diikutsertakan dalam event #GODSAVEGAZA (03-08-2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar