Minggu, 17 Agustus 2014

CERPEN_Kotak Impian Syarif


(Edisi Cerpen Gaza-Palestina)
 
“We will not go down, in the night without a fight.
You can burn our mosque, and our homes, and our schools
But the spirit will never die
We will not go down, in Gaza tonight”
(Michael Heart - We Will Not Go Down)

Abdul sedang asyik merapikan seragam tenaga medisnya tatkala tiba-tiba bumi tempatnya berpijak berguncang hebat. Lampu-lampu yang bertengger di atas atap bergetar. Kaca jendela pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Buku-buku yang berada di atas rak rumah sakit darurat itu serempak berjatuhan dan ranjang-ranjang bergetar sambil bergerak tak beraturan. Tak jauh dari tempatnya bertugas, asap tebal mulai membumbung tinggi menutupi langit kota Gaza yang cerah. Abdul sadar, ia harus segera keluar dari tempat darurat itu.
Sudah tiga tahun ini Abdul, seorang pemuda kewarganegaraan Indonesia menjadi relawan sekaligus jurnalis lapangan di Gaza. Awalnya pada tahun 2010 ia melakukan perjalanan ke Arab untuk menunaikan ibadah umroh sekaligus mengunjungi tempat bersejarah bagi umat Islam, salah satunya adalah Masjid Al-Aqsho yang terletak di Yerusalem. Namun suatu kejadian luar biasa terjadi saat ia harus berhadapan secara langsung dengan tentara Israel yang melarang Abdul beserta rombonganya beribadah di Yerusalem. Ia menjadi semakin tahu bagaimana ambisi Israel menghalangi umat Islam memasuki tanah Yerusalem.
Selama menjadi tenaga medis di Gaza, Abdul memiliki banyak kisah yang mengharukan dan menggugah semangat. Ia telah banyak menjumpai para syuhada’ dan mujahidin dari berbagai kalangan. Mulai dari pemerintah hingga anak-anak. Namun Abdul sangat tertarik dengan kehidupan anak-anak Gaza yang sangat berbeda dengan kehidupan anak-anak di belahan bumi lain. Anak-anak Gaza sangat antusias ikut berjuang mengenyahkan zionis dari tanah mereka. Mereka tak segan-segan ikut memegang senjata menghadapi para tentara zionis yang berperawakan besar dan berteknologi canggih. Di sisi lain, anak-anak Gaza sangat menjunjung tinggi pendidikan. Mereka tahu makna sebuah buku dan pendidikan. Di tengah himpitan perang dan keterbatasan, anak-anak Gaza tetap menuntut ilmu.
Salah satunya adalah Syarif, bocah kecil kelahiran Rafah delapan tahun silam yang sempat menjadi pasien Abdul dua bulan yang lalu.  Syarif termasuk salah satu korban terluka parah yang akhirnya mengharuskan kakinya diamputasi. Setelah proses operasi, Syarif dengan satu kaki yang tersisa berangkat pulang setiap hari ke sekolah dan beberapa kali tetap berusaha mengikuti setiap peperangan yang dapat ia ikuti. Saat itu Abdul hanya bisa tertegun dan bangga dengan semangat jihad yang dimiliki Syarif. Mereka kemudian dekat dan ia pun banyak berbagi soal ilmu umum  yang diketahuinya.
Pernah suatu ketika terjadi perdebatan di antara mereka soal metode jihad yang sesungguhnya. Tanpa jeda sedikit pun, Syarif kecil berapi-api menyampaikan visi misi jihadnya. Ia bercerita bagaimana perjuangan Intifadha dirinya bersama para saudara, sahabat dan kawan sejawatnya yang dengan berani melontarkan batuan kecil yang sungguh jauh tiada tandinganya dengan tank-tank milik zionis. Kemudian ia juga bercerita bagaimana dirinya dan kakaknya ikut baku tembak dengan tentara Israel yang menggusur para warga yang hendak shalat di masjid Al-Aqsha. Sungguh mengesankan, Allahu Akbar.
Deburan debu suci akibat ledakan bom roket beberapa menit yang lalu masih mewarnai suasana Gaza. Aroma jihad para pejuang Palestina menyebar ke seantero tanah suci itu. Abdul memandang sedih keadaan sekelilingnya. Bagaimana tidak, setelah bangunan sekolah depan rumah sakit darurat itu rata dengan tanah akibat ledakan roket Israel kemarin sore, pemukiman penduduk yang berjarak dua blok dari rumah sakit darurat kini juga telah rata dengan tanah. Abdul mendesah sambil terus bertakbir.
Tiba-tiba seorang anak kecil menarik lengan Abdul, menyadarkanya dari lamunan. “Mampukah kau menjaga amanah yang kuberikan kepadamu, kak?”
Abdul menoleh, ia menatap kedua bola mata anak yang dikenalnya sebagai mujahid kecil dengan satu kaki yang memiliki nama asli Syarif. Abdul tersenyum sambil menjawab “Insya Allah,”
“Kak, aku ingin mewasiatkan kotak impianku ini kepadamu. Jika tiba saatnya aku tak berada di dunia ini lagi, maka bukalah kotak itu. aku percaya sepenuhnya kepada kakak,” ujarnya sambil menyerahkan kotak yang ukuranya tak lebih besar dari ukuran kotak jam tangan.
“Kenapa tiba-tiba kau memberikanya kepadaku? Apa maksud kata-katamu ‘mewasiatkan’ kepadaku?” Abdul kebingungan sambil membolak-balikkan kotak itu.
“Suatu saat kakak pasti akan mengetahuinya. Percayalah.” Setelah itu untuk beberapa hari Abdul tak bertemu dengan Syarif si mujahid kecil satu kaki.
Dua hari kemudian, langit kota Gaza – Palestina kembali riuh oleh serangan tentara zionis dari udara, darat dan laut. Ratusan roket diluncurkan dan ribuan peluru ditembakkan. Dalam sekejap puluhan pejuang Palestina gugur dan ratusan lainya luka-luka. Peperangan yang berjalan tak seimbang itu terus berlangsung hingga malamnya. Selepas shalat Isya’ terdengarlah suara ledakan besar yang memekakkan telinga, menggetarkan bumi dan menyayat hati. Tiada yang tahu jiwa siapa yang rela mengorbankan dirinya dengan sebuah ledakan besar yang mampu membangunkan seisi bumi yang terlelap oleh kefanaan dunia.
Di saat yang sama akibat getaran dahsyat ledakan bom itu, kotak impian Syarif terjatuh dari atas meja dalam keadaan pecah dan terbuka. Mengeluarkan semua kenangan, harapan dan impian yang dimiliki. Tampak dua butir peluru yang menganga lebar dan sebuah kertas bergambarkan bendera Palestina dengan lafadz La ilaha Illallah di atasnya. Untuk kesekian kalinya, Abdul tertegun dan menangis.
“Wahai syuhada’ rahimakumullah, semoga Allah menerima semua amal ibadah dan memasukkan kalian kedalam golongan sahabat yang dicintai Allah. Aamiin.”

Diikutsertakan dalam event #GODSAVEGAZA (03-08-2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar