Sabtu, 30 Agustus 2014

CERPEN_Surga Di Atas Kota Rafah



Siluet cahaya merah panjang tiba-tiba meliuk indah di atas kota Rafah. Aunganya meledak memecah kesyahduan fajar pagi itu. Gemanya menelan alunan adzan Subuh yang keluar dari corong-corong masjid kecil yang tersisa. Seketika percikan api berhamburan bak kunang-kunang di atap-atap rumah warga yang hancur. Mu’adz bin Ibrahim Balawi tertegun. Mata kecilnya menangkap cahaya merah yang berkobar penuh kesombongan. Tak berapa lama kemudian, telinga kecilnya mendengar suara dentuman bom roket yang bersahutan. Sesaat pikiranya melayang jauh ke sosok laki-laki dewasa yang menjadi inspirasi hidup keluarganya. Ia pun bergegas pergi menjauhi kobaran api yang terus  menari angkuh.
Mu’adz bin Ibrahim Balawi, bocah kecil kelahiran kota Rafah 4 tahun silam termasuk bocah istimewa. Keluarganya turun temurun mewariskan darah syuhada di padang-padang terjal seantero Palestina. Kakek dan neneknya gugur pada saat gerakan Intifadha mulai menggaung di kancah internasional. Ayahnya, Ibrahim Balawi adalah salah seorang pejuang Izzuddin Al-Qassam dan Ibunya, Saidah Al-Maghribi telah lebih dahulu menjemput undangan Allah di surga saat memperjuangkan kelahiran Mu’adz, tepat pembangunan lorong-lorong Tuhan di bawah tanah kota Rafah diperluas. Dua kakak laki-lakinya, Khalid dan Mahmud yang berada tepat di atasnya 10 tahun mendapat luka permanen di kaki saat mereka ikut melawan tentara zionis yang hendak menembak paman dan bibinya. Keduanya pun akhirnya merenggang nyawa saat sebuah roket meledakkan tempat tinggalnya enam bulan setelah itu.
Kabut tebal masih menyelimuti kota Rafah yang berduka. Mu’adz mempercepat langkah kaki mungilnya. Kian lama kian cepat. Ia berlari bak busur terlepas dari anak panahnya. Secepat kilat dengan penuh tekad, amarah dan takbir yang menggebu. Deru hembusan nafasnya meramaikan suasana kota Rafah yang dipenuhi debu-debu suci. Beberapa kali tubuhnya jatuh terjerembab akibat telapak kaki yang terluka oleh bebatuan tajam sisa pertempuran tadi malam. Ia meringis menahan sakit. Luka yang tak akan pernah sembuh sebelum Palestina Merdeka dan Masjid Al-Aqsha bebas dari bayang-bayang para zionis.
Sauna alam pagi berhasil mengeluarkan cucuran keringat yang melekatkan barisan rambut tirusnya di dahi. Mu’adz kecil masih berlari tanpa lelah. Sudah sekian lama rasa lelah telah hilang dari kamus hidupnya. Kini tujuanya hanya satu. Mencari Ibrahim Balawi, ayahnya. Ketika keluarga dekatnya mulai pergi berjuang melawan tentara zionis, ia sadar tak selamanya ia dapat bermain layaknya anak kecil seperti di negara belahan lain. Ia harus mulai bangkit menggenggam batu dan mengarahkanya ke kepala tentara dan tank-tank yang memang bukan tandinganya. Namun kelak, ia akan menggenggam senapan seperti yang dilakukan oleh kakaknya.
Untuk kesekian kalinya, dentuman suara bom roket terdengar jelas di telinga Mu’adz yang mungil. Gemanya menggetarkan bumi Palestina namun tak satupun dari gaung itu menggoyahkan hati para penduduk. Suara-suara itu pun berubah menjadi melodi pengiring kepergian para syuhada dan tentara zionis yang tewas. Tepat 200 meter di depanya, Mu’adz menyaksikan sejarah perjuangan Izuddin Al-Qassam memepertahankan distrik Rafah yang berada di sebelah timur Gaza, tanah kelahiranya yang tertindas. Ia menyaksikan, bagaimana tank-tank itu melindas apapun yang melintas tanpa pandang bulu. Dan ia juga menyaksikan bagaimana malaikat-malaikat Allah ikut membantu perjuangan para Brigadir Izzuddin Al-Qassam.
Sesaat matanya berkaca-kaca, hatinya tersayat pilu ketika melihat sang ayah yang tiba-tiba datang dalam keadaan tubuh bersimpah darah. Secepat kilat ia menghampiri ayahnya yang kemudian roboh mencium tanah. Ditopangnya kepala sang ayah dengan tangan kecilnya. Allahu Akbar! Allahu Akbar! “Ayah, Demi Allah! Aku ingin cepat memegang senjata dan bertempur bersama para pejuang untuk mengenyahkan para zionis dari bumi Palestina kita!” Seru Mu’adz dengan linangan air mata. Ia sesenggukan dengan terus meneriakkan kalimat takbir. Ia sadar, waktu bersama ayahnya tinggal sebentar lagi.
Sang ayah tersenyum damai. Digerakkanya jari-jari yang kini hanya tersisa dua buah di tangan kiri Ibrahim Balawi. Diusapnya wajah Mu’adz dengan jari itu hingga ikut memerahlah wajahnya. Kemudian dengan segenap sisa tenaganya, Ibrahim berkata, “Wahai anakku, pelita hatiku dan penerang alam kuburku. Janganlah kau kira kami para syuhada telah mati. Karena kami tetap hidup, hidup disisi Allah dan selalu ada di dalam hati para mukminin. Jadilah pejuang yang tangguh, yang dengan seluruh jiwa ragamu membela hak warga tanah kita.” Nasehat Ibrahim sambil terus memandangi pejuang kecilnya. Ia kembali tersenyum.
“Wahai Ayah tersayang, bergembiralah. Karena janji surga yang diberikan kepadamu pastilah benar. Tunggulah aku di sana, bersama ibu dan kakak-kakakku. Aku tidak akan mengecewakanmu,” Setelah mendengar jawaban Mu’adz, mata sang ayah perlahan menutup. Namun bibirnya masih menyungging senyuman sebagai pertanda awal kebahagiaan. Dan detak jantung itupun berhenti. Mu’adz kembali diam. Air matanya telah kering oleh percikan api zionis. Kini, senjata yang tergenggam di tangan kanan Ibrahim Balawi siap menyambut tangan kecilnya untuk menjadi perisai perjuangan. Dengan segenap kekuatanya, ia bangun dan berlari menerobos zona waktu tak terbatas di bumi Palestina.

Diikutsertakan dalam event Penerbit Pena Indis "Air Mata Gaza" (26-07-2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar