Siluet cahaya merah
panjang tiba-tiba meliuk indah di atas kota Rafah. Aunganya meledak memecah
kesyahduan fajar pagi itu. Gemanya menelan alunan adzan Subuh yang keluar dari
corong-corong masjid kecil yang tersisa. Seketika percikan api berhamburan bak
kunang-kunang di atap-atap rumah warga yang hancur. Mu’adz bin Ibrahim Balawi
tertegun. Mata kecilnya menangkap cahaya merah yang berkobar penuh kesombongan.
Tak berapa lama kemudian, telinga kecilnya mendengar suara dentuman bom roket
yang bersahutan. Sesaat pikiranya melayang jauh ke sosok laki-laki dewasa yang
menjadi inspirasi hidup keluarganya. Ia pun bergegas pergi menjauhi kobaran api
yang terus menari angkuh.
Mu’adz bin Ibrahim
Balawi, bocah kecil kelahiran kota Rafah 4 tahun silam termasuk bocah istimewa.
Keluarganya turun temurun mewariskan darah syuhada di padang-padang terjal
seantero Palestina. Kakek dan neneknya gugur pada saat gerakan Intifadha mulai
menggaung di kancah internasional. Ayahnya, Ibrahim Balawi adalah salah seorang
pejuang Izzuddin Al-Qassam dan Ibunya, Saidah Al-Maghribi telah lebih dahulu
menjemput undangan Allah di surga saat memperjuangkan kelahiran Mu’adz, tepat
pembangunan lorong-lorong Tuhan di bawah tanah kota Rafah diperluas. Dua kakak
laki-lakinya, Khalid dan Mahmud yang berada tepat di atasnya 10 tahun mendapat
luka permanen di kaki saat mereka ikut melawan tentara zionis yang hendak
menembak paman dan bibinya. Keduanya pun akhirnya merenggang nyawa saat sebuah
roket meledakkan tempat tinggalnya enam bulan setelah itu.
Kabut tebal masih
menyelimuti kota Rafah yang berduka. Mu’adz mempercepat langkah kaki mungilnya.
Kian lama kian cepat. Ia berlari bak busur terlepas dari anak panahnya. Secepat
kilat dengan penuh tekad, amarah dan takbir yang menggebu. Deru hembusan
nafasnya meramaikan suasana kota Rafah yang dipenuhi debu-debu suci. Beberapa
kali tubuhnya jatuh terjerembab akibat telapak kaki yang terluka oleh bebatuan
tajam sisa pertempuran tadi malam. Ia meringis menahan sakit. Luka yang tak
akan pernah sembuh sebelum Palestina Merdeka dan Masjid Al-Aqsha bebas dari
bayang-bayang para zionis.
Sauna alam pagi
berhasil mengeluarkan cucuran keringat yang melekatkan barisan rambut tirusnya
di dahi. Mu’adz kecil masih berlari tanpa lelah. Sudah sekian lama rasa lelah
telah hilang dari kamus hidupnya. Kini tujuanya hanya satu. Mencari Ibrahim
Balawi, ayahnya. Ketika keluarga dekatnya mulai pergi berjuang melawan tentara
zionis, ia sadar tak selamanya ia dapat bermain layaknya anak kecil seperti di
negara belahan lain. Ia harus mulai bangkit menggenggam batu dan mengarahkanya
ke kepala tentara dan tank-tank yang memang bukan tandinganya. Namun kelak, ia
akan menggenggam senapan seperti yang dilakukan oleh kakaknya.
Untuk kesekian kalinya,
dentuman suara bom roket terdengar jelas di telinga Mu’adz yang mungil. Gemanya
menggetarkan bumi Palestina namun tak satupun dari gaung itu menggoyahkan hati
para penduduk. Suara-suara itu pun berubah menjadi melodi pengiring kepergian
para syuhada dan tentara zionis yang tewas. Tepat 200 meter di depanya, Mu’adz
menyaksikan sejarah perjuangan Izuddin Al-Qassam memepertahankan distrik Rafah
yang berada di sebelah timur Gaza, tanah kelahiranya yang tertindas. Ia
menyaksikan, bagaimana tank-tank itu melindas apapun yang melintas tanpa
pandang bulu. Dan ia juga menyaksikan bagaimana malaikat-malaikat Allah ikut membantu
perjuangan para Brigadir Izzuddin Al-Qassam.
Sesaat matanya
berkaca-kaca, hatinya tersayat pilu ketika melihat sang ayah yang tiba-tiba datang
dalam keadaan tubuh bersimpah darah. Secepat kilat ia menghampiri ayahnya yang
kemudian roboh mencium tanah. Ditopangnya kepala sang ayah dengan tangan
kecilnya. Allahu Akbar! Allahu Akbar! “Ayah, Demi Allah! Aku ingin cepat
memegang senjata dan bertempur bersama para pejuang untuk mengenyahkan para
zionis dari bumi Palestina kita!” Seru Mu’adz dengan linangan air mata. Ia
sesenggukan dengan terus meneriakkan kalimat takbir. Ia sadar, waktu bersama
ayahnya tinggal sebentar lagi.
Sang ayah tersenyum damai.
Digerakkanya jari-jari yang kini hanya tersisa dua buah di tangan kiri Ibrahim
Balawi. Diusapnya wajah Mu’adz dengan jari itu hingga ikut memerahlah wajahnya.
Kemudian dengan segenap sisa tenaganya, Ibrahim berkata, “Wahai anakku, pelita
hatiku dan penerang alam kuburku. Janganlah kau kira kami para syuhada telah
mati. Karena kami tetap hidup, hidup disisi Allah dan selalu ada di dalam hati
para mukminin. Jadilah pejuang yang tangguh, yang dengan seluruh jiwa ragamu
membela hak warga tanah kita.” Nasehat Ibrahim sambil terus memandangi pejuang
kecilnya. Ia kembali tersenyum.
“Wahai Ayah
tersayang, bergembiralah. Karena janji surga yang diberikan kepadamu pastilah
benar. Tunggulah aku di sana, bersama ibu dan kakak-kakakku. Aku tidak akan
mengecewakanmu,” Setelah mendengar jawaban Mu’adz, mata sang ayah perlahan
menutup. Namun bibirnya masih menyungging senyuman sebagai pertanda awal
kebahagiaan. Dan detak jantung itupun berhenti. Mu’adz kembali diam. Air
matanya telah kering oleh percikan api zionis. Kini, senjata yang tergenggam di
tangan kanan Ibrahim Balawi siap menyambut tangan kecilnya untuk menjadi
perisai perjuangan. Dengan segenap kekuatanya, ia bangun dan berlari menerobos
zona waktu tak terbatas di bumi Palestina.Diikutsertakan dalam event Penerbit Pena Indis "Air Mata Gaza" (26-07-2014)